RUMAH KECIL DI TEPI JALAN

Dalam perjalanan pulang menuju Semarang, aku duduk menemani suamiku mengemudi sambil sesekali mengikuti rangkaian lirik di tape mobil. Hari sudah mulai gelap, suasana magrib mulai menghilang. Sesudah rehat sholat tadi, anak-anak sudah terlelap lagi di bangku belakang. Tinggal kami berdua, kadang berbincang, kadang terdiam saja menekuri jalan.

Kupandangi pemandangan gelap di jalanan yang kami lewati. Dalam ruas jalan ke perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, tiba-tiba aku melihat sekilas dalam pandangku, sebuah rumah kecil di tepi jalan. Sebelah kanan jalan, di sisi suamiku mengemudi.

Sekilas aku memandangnya, tapi terekam dalam ingatanku. Rumah itu, berkesan pertama, mencekam. Tapi rumah itu bukan rumah horor, di ujung bukit, dengan detail mengerikan di sudut-sudut gerbangnya, seperti yang biasa kita lihat di film horor bikinan sineas Indonesia yang menyedihkan. Rumah itu biasa saja.

Rumah itu sepertinya berbentuk bujur sangkar, atau empat persegi panjang. Yang jelas dia tidak memiliki lekuk ruang lain yang memberi bentuk rumah menjadi selain dua bentuk itu. Sekelilingnya adalah sawah terbentang. Tiga sisi rumah dikelilingi sawah, yang gelap. Gelap tanpa cahaya sedikitpun, tapi aku yakin itu persawahan. Tidak ada rumah lain di sebelahnya, atau bahkan di sekitarnya, dalam radius sekitar satu kilometer. Rumah itu sendiri. Sendiri ditelikung kegelapan dari persawahan di sekitarnya. Sendiri dicekam rasa tidak biasa yang dibawa alunan roda kendaraan yang melaju di depannya. Sendiri diombang-ambingkan rasa dingin malam yang tertahan di dinding rumahnya..

Teras rumahnya, membatasi bagian dalam rumah dengan jalan setapak menuju jalan besar yang kami lewati. Jaraknya dari jalan besar, tidak sampai sepuluh meter. Terasnya berukuran sekitar 2x6 m. Terbuat sepertinya dari ubin keramik sederhana. Aku tak bisa melihatnya sedetil itu dengan kecepatan kami lewat tadi. Lampu terasnya putih, menyala tiga buah, dalam deretan dan jarak yang sama dibuatnya. Lampu itu menerangi teras yang tidak memiliki perabot apapun. Menerangi dinding yang terdiri dari dua set kaca depan, dan satu pintu depan. Kaca depannya terbuat dari kaca gelap. Bentuknya kotak dengan bagian atasnya melengkung, bentuk standard kaca di rumah daerah. Kaca besar depan itu dibagi lagi menjadi beberapa kotak dengan batasan kayu lis kecil. Tipikal rumah tropis sederhana angkatan pertama. Pintunya terbuat dari multiplek biasa yang dilapis dengan cat plitur. Handel pintunya biasa saja. Tidak ada angin-angin di atas pintu dan jendelanya.

Atapnya atap tropis biasa. Sekilas dengan empat tiang kayu di terasnya, seperti membentuk limas. Tetapi aku yakin itu atap pelana biasa. Atap pelana yang menghadap ke samping. Dari sisi jalan yang kulewati hanya terlihat sebuah bidang besar atap. Tak sejelas itu di malam yang temaram itu.

Dinding depannya dicat hijau muda. Warna yang sangat biasa. Menambah rasa hampa yang terlihat saat memandangi rumah itu lebih lekat. Selekat yang aku bisa dalam kecepatan yang dibawa suamiku melayang. Rumah itu biasa saja, tadinya.

Lalu aku membiarkan imajinasiku melayang ke alam gelap di sekitarnya. Siapakah yang ada di dalam rumah itu? Keluarga seperti apakah yang tinggal di rumah itu? Kehidupan macam apakah yang dijalani di dalam rumah itu..?

Apakah rumah itu membuka lebar pintunya setiap kali ada kerabat dan saudaranya yang datang mengunjungi mereka yang menghuni? Apakah rumah itu riuh dan ramai dengan tangis dan tawa anak-anak yang berlarian ke sana kemari? Apakah rumah itu terbungkus dalam kasih sayang dan keindahan cinta seperti yang ada dalam keluargaku? Apakah rumah itu menjadi saksi dari kekejaman dan ketidakpastian hidup yang dialami para penghuninya? Apakah rumah itu menjadi nyawa dari kehidupan yang berlalu lalang di depan dan sekitarnya? Apakah rumah itu menjadi sendiri di dalam alunan waktu yang membawanya ke titik usang?

Oh aku tahu.
Rumah itu ditinggali oleh sepasang suami istri yang sudah pensiun dari kegiatannya di sawah. Bertahun-tahun yang lalu mereka tinggal dalam rumah yang tidak lebih bagus dari rumah itu, bahkan reyot dan tidak bersih, bersama anak-anaknya. Mereka berdua membanting tulang menjadi buruh tani di sawah-sawah milik orang lain di sekitar rumahnya. Mereka mengumpulkan uang satu rupiah setiap hari untuk menyekolahkan anaknya setinggi yang mereka bisa.

Kemudian dalam ketidaksanggupan mereka melontarkan pendidikan anak-anaknya setinggi langit, mereka harus merelakan anak lelakinya merantau ke kota besar untuk mengais rupiah. Mereka harus merelakan anak wanitanya pergi ke luar negeri untuk mengais dollar. Mereka kemudian sendiri berdua menanti dalam ketiadaaan.
Tapi anak-anaknya kembali, karena mereka dibesarkan dalam cinta dan kasih sayang. Anak lelakinya menikah dan memberikan dua orang cucu yang lucu-lucu, tapi mereka tidak tinggal di sana. Mereka tinggal di kota besar sambil meneruskan usaha bengkel yang dirintis pelan-pelan dari nol. Sementara anak wanitanya rutin mengirimkan rupiah demi rupiah hasil kerjanya untuk mereka berdua.

Lalu, mereka membangun rumah bercat hijau itu. Mereka mewujudkan hasil kerja anak-anaknya dengan membungkusnya dalam rumah mungil hijau yang siap menanti sang anak pulang. Mereka mengikhlaskan segala hati dengan doa dan kekuatan yang mereka punya untuk menanti waktu. Senyum, tawa dan doa yang tidak pernah lepas dari diri mereka selalu dikirimkan untuk anak-anaknya..

Sekarang mereka dan rumah itu menanti. Kedatangan hari-hari berkumpul kembali. Hari-hari saat rasa dan cinta bisa terbalur dalam pelukan yang indah, dengan rasa maaf dan kasih sayang yang tak pernah surut.

Sebentar lagi bulan Ramadhan. Sebentar lagi Lebaran. Sebentar lagi anak-anak mereka pulang. Sebentar lagi mereka memeluk cinta dalam denyut jantungnya. Sebentar lagi rumah tak lagi sepi. Karena sebentar lagi, kasih sayang datang dalam kemenangan..
Sebentar lagi...




Selagi belum Ramadhan, mohon maafkan segala kesalahan kami, terbungkus dalam rasa cinta, semoga kita bisa tiba di Ramadhan, merasakan indahnya Rahmat Illahi..




 


Semarang, 20 Juli 2010
Wind

Share:

0 Comentarios